Oleh: Bernardus Gian Pratama
Merebaknya Covid-19 di awal tahun ini menyebabkan kepanikan
di seluruh dunia. Karantina sampai pembatasan sosial berskala besar digalakan
pemerintah untuk menghambat laju penyebaran virus ini. WHO pun mengeluarkan
beberapa ketentuan dan cara-cara untuk menghadapi pandemi ini, salah satunya
dengan mengkampanyekan cuci tangan setelah melakukan sesuatu. Cuci tangan
dinilai menjadi salah satu cara untuk membunuh Covid-19 ini.
Tahukah kamu, gagasan mencuci tangan dengan benar adalah
salah satu momen terpenting dalam sejarah kesehatan dunia?
Sebelum abad ke-19, banyak orang meninggal sebelum usia 50.
Sebagian besar meninggal karena infeksi. Bahkan di Denmark, pada tahun-tahun
terburuk abad ke-19, sebanyak 50% ibu yang melahirkan akhirnya meninggal dunia.
Hingga pada 1847, dokter asal Hungaria, dr. Ignaz Philipp
Semmelweiss, menemukan fakta bahwa kebiasaan dokter yang tidak mencuci tangan
dapat menyebabkan infeksi yang berujung kematian pasien. Maka Semmelweiss
segera membuat prosedur mencuci tangan dan penggunaan larutan chlorinated lime
sebagai desinfektan.
Prosedur desinfektan Semmelweiss mewajibkan dokter dan
perawat mencuci tangan dengan sabun pada jeda kontak antara dua pasien. Selain
itu, dokter juga harus mencuci tangannya dengan larutan desinfektan usai mengotopsi
jenazah.
Awalnya gagasan semmelweiss ditolak banyak dokter yang
tersinggung. Apalagi, Semmelweis tidak dapat memberikan penjelasan ilmiah soal
prosedur desinfeksi tersebut.
Sampai kemudian Joseph Lister, dokter bedah Inggris,
menggabungkan prosedur Semmelweiss dengan pembuktian ilmiah tentang
mikroorganisme penyebab penyakit. Pada 1865, prosedur desinfeksi ala
Semmelweiss dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan resmi diterapkan di
rumah sakit.
Kini prosedur cuci tangan ala Semmelweis dan Lister sudah
diadopsi oleh semua rumah sakit dan klinik, Bahkan telah dilaksanakan sebagai
salah satu kegiatan sanitasi di rumah, tempat kerja, dan sekolah sebagai upaya
mencegah penularan penyakit oleh mikroorganisme.
